Laman

Selasa, 31 Oktober 2017

KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN EKONOMI

1) Hubungan Sistem Gerakan Benteng Soemitro Djojohadikusumo dengan Kebijakan Ekonomi Masa Kini

  Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Pemerintahan di masa orde reformasi yang berjalan saat ini sudah diiringi dengan berjalannya globalisasi. Dalam kontek ekonomi, globalisai dapat membentuk jaringan ekonomi global yang merangkul seluruh dunia dan mengarahkannya pada poros kendali Negara yang mempunyai kekuatan ekonomi raksasa. Hal ini akan menimbulkan ketergantungan Negara – Negara yang tidak berdaya dalam kompetisi ekonomi global. Pengaruh yang jelasa terlihat saat ini ialah dimana banyak bermunculan produk – produk unggulan dari Negara lain yang di jual dipasaran.           Bukan lima hingga sepuluh tahun lagi senjata ekonomi yang ditodongkan kepada negeri ini akan akan terus bertahan. Akan tetapi todongan senjata itu akan berbalik arah. Melalui struktur pemerintahan reformasi yang ada, sistem yang jelas dan transparan , dan peraturan yang jelas dan tegas, sikap mental yang baik serta keprofesionalan para pejabat di pemerintahan maka kurang dari lima tahun negeri ini kan berubah. Senjata ekonomi akan berbalik dan meletus kepad Negara lain.
            Negara dalam todongan senjata ekonomi merupakan tanda atau sinyal yang harus diantisipasi oleh pemerintah. Di tengah – tengah kehidupan rakyat yang diselimuti berbagai persoalan karena sikap hidup rakyat yang konsumtif bukan kreatif dan inovatif serta produktif harus di ubah kearah hidup yang mempunyai daya kekuatan besar dengan cara pemerintah harus mengkaryakan seluruh potensi sumberdaya manusia yang tersedia. Dengan demikian akan menciptakan kekuatan negeri yang mampu melawan kekuatan ekonomi raksasa. Menghimpun potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam akan mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Negara dalam todongan senjata ekonomi akan membangun sikap mental untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah

2) Perbandingan Sistem Gunting Syarifuddin dengan Sistem Redominasi
a. Sanering
Pada tanggal 19 Maret 1950, sanering pertama kali dikenal dengan nama "gunting syafrudin" dimana uang kertas betul-betul digunting menjadi dua secara fisik dan nilainya. Dia memerintahkan agar seluruh ‘uang merah’ NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) dan uang De Javasche Bank/DJB (bentukan penjajah belanda yang kemudian berubah nama menjadi BI/Bank Indonesia) yang bernilai rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian.
·           Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
·          Gunting Syafrudin adalah plesetan yang diberikan rakyat atas kebijakan ekonomi (khususnya moneter) yang ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret 1950.
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi alias dibuang.
Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi negara yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung. Dengan politik pengebirian uang tersebut, bermaksud menjadi solusi jalan pintas untuk menekan inflasi, menurunkan harga barang dan mengisi kas pemerintah untuk membayar utang yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan Rp 1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp 50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus menerus terjadi penurunan nilai rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember 1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti juga ‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang dilakukan soekarno membuat masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam, sementara televisi belum muncul dan hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Karena dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin. Dikabarkan banyak orang menjadi gila karena uang mereka nilainya hilang 50 persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru saja melakukan jual beli tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Pada tanggal 13 Desember 1965 dilakukan Sanering yang ketiga yaitu terjadi penurunan drastis dari nilai Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru). Sukarno melakukan sanering akibat laju inflasi tidak terkendali (650 persen). Harga-harga kebutuhan pokok naik setiap hari sementara pendapatan per kapita hanya 80 dolar US.
Sebelum sanering, pada bulan november 1965 harga bensin naik dari rp 4/liter menjadi rp 250/ liter (naik 62,5 kali). Nilai rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper tujuh puluh lima) dari angka rp 160/ us$ menjadi Rp 120,000 /us$.
Setelah sanering ternyata bukan terjadi penurunan harga malah harga jadi pada naik. Pada tanggal 21 Januari 1966 harga bensin naik dari rp 250/liter menjadi rp 500/ liter & harga minyak tanah naik dari rp 100/ltr menjadi rp 200/ltr (naik 2 kali).
Sesudah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia pada tahun 1997 nilai 1 us $ menjadi rp 5.500 dan puncaknya adalah mulai April 1998 sampai menjelang pernyataan lengsernya suharto maka nilai 1 us $ menjadi rp 17.200. Lalu apakah kebijakan politik pengebirian nilai fiat money (uang kertas) ini bakal terulang lagi? Sebenarnya pengebirian nilai fiat money ini terjadi secara halus dan perlahan tapi pasti, buktinya bisa dilihat dari kenaikkan harga barang dari tahun ke tahun, yang sesungguhnya adalah pengurangan nilai fiat money. Padahal harga barang itu tetap, tapi karena nilai fiat money yang kita pegang angkanya makin banyak tapi daya belinya makin turun.
Sanering Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun. Dampak  dari sanering, menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis. Tujuan dari sanering, mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Katanya program sanering itu dilakukan karena ekonomi negara itu sangat buruk yang mendekati ambruk karena hiper inflasi.
Nilai uang terhadap barang dari sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya. Kondisi saat dilakukan, dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi). Masa transisi, Sanering tidak ada masa transisi dan dilakukan secara tiba-tiba. Contoh:  Pada sanering, bila terjadi sanering per seribu rupiah, maka dengan Rp 4,5 hanya dapat membeli 1/1000 atau 0,001 liter bensin.

   b. Redonominasi
Topik yang sedang menarik perhatian publik saat ini adalah redenominasi rupiah. Rencana Bank Indonesia untuk melakukan redenominasi rupiah banyak mengundang kritik dari berbagai pihak dari ahli ekonomi, pengamat bursa saham, pelaku bisnis dan lain-lainnya. Bank Indonesia mengatakan, redenominasi rupiah tidak sama dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Sebab, dalam redenominasi meski tiga angka nol terakhir dihilangkan, tapi nilainya sama.
Redenominasi Rupiah adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Dampak dari Redenominasi, Pada redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama. Menurut BI uang dengan nominal besar kurang efisien serta merepotkan pembayaran. Oleh karena kebijakan tersebut akan bermanfaat besar bagi perekonomian yang akan membuat pencatatan dan pembukuan akan lebih efisien.
Latar Belakang Kebijakan Redenominasi, Bank Indonesia sedang mengkaji kebijakan redenominasi atas mata uang rupiah. Kebijakan ini diambil setelah hasil riset World Bank yang menyebutkan, Indonesia termasuk negara pemilik pecahan mata uang terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Uang pecahan terbesar di tanah air Rp 100.000, hanya kalah oleh dong Vietnam (VND) 500.000.
Tujuan dari Redenominasi, menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan transaksi.Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara regional. Nilai uang terhadap barang dari Redenominasi, tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan.
Kondisi saat dilakukannya Redenominasi, Redenominasi dilakukans saat kondisi makro ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali.
Masa transisi, Redenominasi dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.


3) Maksud dan Tujuan Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada tahun 1800, pasca pembubaran VOC, pemerintah Hindia Belanda mengalami berbagai macam kesulitan ekonomi. Berbagai macam kebijakan keuangan harus dilakukan sendiri tanpa pengaturan dari bank sirkulasi. Pemerintah juga sangat kewalahan menghadapi kebijakan moneter dan fiskal tanpa adanya lembaga keuangan lainnya serta dalam neraca perdagangan juga Pemerintah Hindia Belanda sangat membutuhkan emas dan perak untuk menutupinya. Kondisi inilah yang menyebabkan pendirian bank sirkulasi untuk Pemerintah Hindia Belanda.
Pada 16 Juli 1823, negeri Belanda mengirimkan rancangan oktroi untuk suatu bank yang akan disebut sebagai Der Nederlandsceh Oost-Indische Bank. Pada tahun 1922, De Javasche Bank telah mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi usaha maupun jaringan kantornya serta hukumnya juga mengalami perubahan. Pada oktroi ke-8, secara garis besar fungsi dan tugas De Javasche Bank berdasarkan Bankwet 1922, antara lain:
a. Mengeluarkan uang kertas.
b. Memperdagangkan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri.
c. Memberikan kredit kepada perusahaan dan perseorangan.
d.  Memberikan uang muka kepada perusahaan-perusahaan dengan jaminan surat-surat berharga atau barang dagangan.
e.  Bertindak sebagai kasir pemerintah dan memberikan uang muka jangka pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda sampai sejumlah 6 juta gulden tanpa bunga.
f.   Menyelenggarakan kliring antarbank.

Alasan dilakukan Nasionalisasi De Javache Bank, antara lain :
1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.


4) Pembentukan Biro Perancang Negara dibandingkan dengan Repelita dan Kabinet Kerja Saat Ini
Pemerintah Letjen Soeharto (Orde Baru) yang dijalankan sejak terbentuknya Kabinet Ampera mempunyai tugas menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai prasyarat pelaksanaan pembangunan nasional. Tugas Kabinet Ampera disebut Dwidarma Kabinet Ampera. Program kerjanya disebut Caturkarya yang isinya adalah mencukupi kebutuhan sandang dan pangan; melaksanakan pemilihan umum(pemilu); melaksanakan politik luar negeri bebas aktif; dan melanjtkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme.
Jenderal Soeharto melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan Kabinet Ampera dengan membentuk cabinet pembangunan pada tanggal 6 juni 1968. Tugas pokok Kabinet Pembangunan disebut Pancakrida. Dalam upaya melaksanakan pembangunan dibidang ekonomi, pemerintah Jenderal Soeharto yang dikenal juga sebagai pemerintahan Orde Baru melaksanakannya melalui Repelita (rencana pembangunan lima tahun).
Repelita dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada masa orde baru diarahkan pada sector pertanian. Hal itu dikerenakan kurang lebih 55% dari produksi nasional berasal dari sector pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia memperoleh penghidupan dari sector pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, rumah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua macam, yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita (pembangunan lima tahun), adapun program pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan jangka pendek yang saling berkesinabungan. Masa pembangunan jangka oanjang direncanakan selama 25 tahun. Modernitas memerlukan sarana, salah satunya dengan pengadaan sarana fisik. Pembangunan yang dilaksanakan di realisasikan dalam system pembangunan nasional yang dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA).

     1) Pelita I
 Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaa pelita 1 yaitu pada periode 1969-1974. Pada pelita 1 ini, orde baru menyelesaikan fase stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat menciptakan keadaan yang stabil. Selama beberapa tahun, sebelum orde baru keadaan ekonomi mengalami kemerosotan. Pada 1955-1960 laju inflasi rata-rata 25% per tahun, dalam periode 1960-1965 harga-harga meningkat dengan laju rata-rata 226% per tahun, dan pada 1966 laju inflasi mencapai puncaknya, yaitu 650% setahun. Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat kepentingan ekonomi dikorbankan demi kepentingan politik.
Pada masa orde baru, kemerosotan ekonomi dapat dikendalikan. Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan menjadi 120%, atau seperlima dari tahun sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai, kemudian dimulailah pelaksanaan pelita 1 pada tahun 1969. Adapun titik berat pelita 1 adalah pada sector pertanian dan industry yang mendukung sector pertanian.
 Adapun sasaran pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelaksanaan pelita 1 termasuk
pembiayaannya selalu disetujui DPR dengan membuat undang-undang sesuai ketentuan UUD 1945.

     2) Pelita II
Pelita 1 berakhir pada 31 Maret 1974, yang telah meletakan dasar-dasar yang kuat bagi pelaksanaan pelita I. MPR hasil pemilu 1971 secara aklamasi memilih dan mengangkat kembali jendral soeharto sebagai presiden RI. Selain itu, MPR hasil pemilu 1971 berhasil pula menyusun GBHN melalui Tap MPR RI No IV/MPRS/1973. Di dalam GBHN 1973 terdapat rumusan pelita II, yaitu :
a)      Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh daya beli masyarakat;
 b)      Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan masyarakat;
c)      Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d)     Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
e)      Memperluas kesempatan kerja.
Untuk melaksanakan pelita II, presiden soeharto kemudian membentuk cabinet pembangunan II. Program kerja cabinet pembangunan II, disebut Sapta Krida Kabinet Pembangunan II, yang meliputi:
a)      Meningkatkan stabilitas politik;
b)      Meningkatkan stabilitas keamanan;
c)      Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
d)     Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e)      Melaksanakan pemilihan umum.

     3) Pelita III
Pada 31 Maret 1979, Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat pembangunan pada pelita III adalah pembangunan sector pertanian menuju swasembada pangan yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Sasaran pokok pelita III diarahkan pada trilogy pembangunan dan delapan jalur pemerataan.
a) Trilogi pembangunan mencakup:
1)      Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia;
2)      Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3)      Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
b)  Delapan jalur pemerataan mencakup:
1)      Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan perumahan;
2)      Bagi rakyat banyak;
3)      Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan;
4)      Pemerataan pembagian pendapatan;
5)      Pemerataan memperoleh kesempatan kerja;
6)      Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
7)      Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi generasi muda dan kaum wanita;
8)      Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Indonesia;
9)      Pemerataan memperoleh keadilan.
Terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya MPR hasil pemilu membentuk kabinet pembangunan III. Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978.
     Program kerja kabinet pembangunan III, disebut Sapta Krida Pembangunan III, yang meliputi:
1.      Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dnegan memeratakan hasil pembangunan;
2.      Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3.      Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;
4.      Menciptakan aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
5.      Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan dilandasi oleh penghayatan dan pengamalan pancasila;
6.      Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;
7.      Mengembangkan politik luar negri yang bebas aktif untuk diabdikan kepada kepentingan nasional.

     4) Pelita IV        
Pelita III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pelita IV yang dimulai 1 april 1989. Untuk ketiga kalinya jenderal soeharto terpilih dan diangkat kembali oleh MPR hasil pemilu. Untuk melaksanakan pelita IV, presiden seharto membentuk cabinet pembangunan IV. Titik berat pelita IV adalah pembangunan sector pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan industry yang dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri, baik untuk mesin-mesin industry ringan maupun industry berat.        
Sasaran pokok pelita IV yaitu sebagai berikut:
 a)      Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman,Penghayatan,dan Pengamalan Pancasila).
 b)      Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan meningkatkan mutu pendidikan.
c)      Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.

    5) Pelita V        
Pelita IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita V yang dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan pelita terakhir dari keseluruhan program pembangunan jangka panjang pertama (PPJP 1). Pelita V merupakan masa tinggal landas untuk memasuki program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II), yang akan dimulai pada pelita VI pada april 1999.
Titik berat pelita V adalah meningkatkan sector pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan prduksi hasil pertanian laiinya serta sector industri, khususnya industry yang menghasilkan barang untuk ekspor, industry yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertaian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang antara industry dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah maupun dari segi penyeraan tenaga kerja.

   6)      Pelita VI        
Pelita V berakhir pada 31 Maret 1999yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita VI yang dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir pelita V diharapkan akan mampu menciptakan landasan yang kukuh untuk mengawali pelaksanaan pelita VI dan memasuki proses tinggal landas menuju pelaksanaan program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II) . Titik berat pelita VI diarahkan pada pembangunan sector-sektor ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.        
 Sasaran pembangunan industry dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun VI sebagai bagian dari sasaran bidang ekonomi sesuai amanat GBHN 1993 adalah tertata dan mantapnya industry nasional yang mengarah pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industry ke seluruh wilayah Indonesia, dan makin kukuhnya struktur industry dengan peningkatan keterkaitan antara industry hulu, industry antara, dan industry hilir serta antara industry besar, industry menengah, industry kecil, dan industry rakyat. Serta keterkaitan antara sector industry dengan sector ekonomi lainnya. Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia kea rah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997.
Namun, pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi menyebabkan terjadinya gejolak social yang mengarah pada pertentangan terhadap pemerintah orde baru.


5) Sistem Ekonomi Ali-Baba dan Tujuan

Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus 1955), menteri prekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi baru yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama ekonomiantara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem ekonomi Ali Baba memajukan perekonomian Indonesia. Dengan dilaksanakannya sistem seperti ini, pengusaha pribumi memiliki kewajiban untuk memberikan latihan dan juga tanggung jawab kepada pekerja asal Indonesia, agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Kemudian pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Selain itu, pemerintah juga memberikan perlindungan bagi pengusaha pribumi, agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing.
Berikut tujuan secara rinci dari program ini adalah :
i.Untuk memajukan pengusaha pribumi.Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
ii.Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
iii.Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.

Namun, ternyata dalam praktiknya, kebijakan ini tidak dapat berjalan dengan baik. Yang menjadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengalaman yang dimiliki oleh pengusaha pribumi. Hal ini disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu yang membuat pengusaha Indonesia hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk memperoleh kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi memiliki pengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Sistem Ekonomi Ali Baba mengalami kegagalan karena beberapa hal berikut :
Kredit yang digunakan ternyata tidak digunakan secara benar oleh para pengusaha pribumi (indonesia) dalam rangka mencari keuntungan tetapi malah dipindahkan kepada pengusaha tionghoa secara sepihak.
Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong kegiatan produksi tapi malah diselewengkan untuk kegiatan konsumsi
Kegagalan pengusaha pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga kurang berdampak positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.


6) Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.

RPLT mengalami kegagalan disebabkan oleh Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN EKONOMI

1) Hubungan Sistem Gerakan Benteng Soemitro Djojohadikusumo dengan Kebijakan Ekonomi Masa Kini   Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan ...